Kalau Anda bersedia berpikir mandiri
dan menghilangkan skeptisme psikologis atas segala hal yang selama ini
menyodorkan kecurigaan dan kebingungan, sehingga Anda siap memperoleh
pemahaman yang jernih dan ketentraman hati maka perkenankan saya
mengajak Anda memahami Indonesia melalui Gus Dur.
Sekali lagi hapus skeptisme di benak Anda. Kapan-kapan Gus Dur bisa Anda lihat sebagai RI-1, ulama besar, dan pejuang demokrasi, tokoh ini dan itu, atau apapun saja. Tapi yang paling diperlukan kali ini pertama-tama adalah kesediaan melihat Gus Dur sebagai manusia.
Kedua ia adalah orang yang kita gaji untuk mengurusi kesejahteraan dan keadilan kita semua rakyat Indonesia. Kita rakyat Indonesia adalah pihak yang berkedudukan tertinggi, Gus Dur adalah salah satu bawahan kita. Ia harus taat kepada kita, karena kitalah yang mengesahkan setiap butir undang-undang yang kemudian kita bersama sama mengikatkan diri padanya.
Kenapa memahami Indonesia harus melalui Gus Dur? Pertama karena justru Gus Dur belum tentu punya kerendahan hati untuk memahami kita.
Kedua karena kita harus men-thowafi Indonesia sedemikian unit dan spesifiknya, Indonesia sedemikian rupa. Kita harus memahami Indonesia dari segala sisi dan sudut, yang di dalam metodologi thowaf sisi dan sudut itu berjumlah tak terhingga. Indonesia sedemikian unit dan spesifiknya, Indonesia adalah satu paradigma sejarah, suatu jenis antropo-sosiologi yang hampir tak ada duanya. Ya kecanggihannya, ya kedunguannya, ya keruwetannya, ya….
Sehingga tidak mungkin kita menolak thowaf, kalau tidak ingin selalu salah sangka dan kecele dalam memahaminya. Juga kalau kita mendekati Indonesia hanya melalui dan…. kepentingan subyektif pihak dan kelompok kita, percayalah kita akan menyongsong malapetaka demi melapetaka lagi yang lebih menyengsarakan.
Kita harus memulai kembali menata pemahaman kita atas negeri, bangsa dan manusia Indonesia. Melalui segala sisi dan sudut dan apapun seluas-luasnya. Memahaminya kembali melalui kandungan tanah dan bebatuannya. Melalui jenis darah dan gen penghuninya. Melalui habitat sosio-kulturalnya. Melalui kecenderungan kelakuan politiknya. Kita memahami Indonesia melalui orang-orang kecil yang menjarah toko-toko, melalui kakilima-kakilima sepanjang jalan, melalui monyet-monyet di hutannya, melalui Gus Dur, melalui kaum intelektual, ulama-ulama, melalui siapa dan apa saja.
Bahkan kali ini kita belajar dari celana dalam dulu di masa mudanya Gus Dur kuliah di Kairo, Mesir. Suatu sore bersama sahabatnya, Gus Mus alias KH Mustafa Bisri, beliau menerima tamu seorang ‘yunior’ pelajar yang baru datang dari tanah air dan akan kuliah di sana. Sekarang si yunior ini sudah menjadi kiai besar di sebuah pesantren di Jawa Timur selatan-barat.
Mestinya adegan-adegan ini saya kisahkan langsung di panggung dengan formula teater, karena bentuk tulisan seperti ini tidak bisa mengangkut nada, irama dan musikalitas secara maksimal. Oleh karena itu saya padatkan saja, tanpa teaterikalisasi audio-visual.
Singkat kata Gus Dur dan Gus Mus maenyambut si yunior dengan penuh keakraban. Mempesilakannya duduk, menawarkannya minum. Si yunior memilih kopi, Gus Mus memasak air, Gus Dur mengambil cangkir, lepek dan lap pembersih. Di sinilah pusat tema kita.
Lap pembersih itu bukan kain lap sebagaimana lazimnya. Yang dipegang Gus Dur adalah cawat alias celana dalam. Cangkir dan lepek dengan celana dalam itu, Gus Dur berkeliling secara prima. Wajahnya tanpa ekspresi, tanya ini itu kepada si yunior, sambil tangannya mantap menggosok-gosokkan celana dalam itu ke cangkir dan lepek.
Tentu saja si yunior jadi BI. Salah tingkah, namanya tersinggung, tapi tidak punya keberanian untuk tersinggung, karena tuan rumahnya ini jangan-jangan adalah seorang wali yang menyimpang karomah dan barokah di balik celana dalamnya si yunior berpikir mungkin ini sebuah fatwa: Gus Dur bisa jadi sedang memberi peringatan kepadanya agar selama kalian di Kairo ia benar-benar menumbuhkan kemampuan iman dan akhlak untuk menjaga muatan celana dalamnya semaksimal mungkin. Pokoknya berhati-hatilah dengan segala hal yang berkaitan dengan celana dalam.
Tapi itu semua adalah realitas nilai. Realitas moral dan teologi. Yang paling yunior rasakan sekarang adalah kopi yang bercampur dengan segala unsur yang dimungkinkan terkandung oleh celana dalam. Dan lagi secara psikologis maka mungkin minum kopi sambil merasakan gigir celana dalam dengan segala citra dan imajinya diantara dua ….
Kayaknya belum pernah ada mitos, buku hasil riset atau bahan apapun yang pernah memberikan ada orang membersihkan cangkir kopi dengan celana dalam. Juga tidak pernah ada riwayat tentang orang paling gila dari belahan bumi manapun yang kelakuannya mblunat seperti ini. Apalagi karena si yunior memiliki ilmu kasyful hijab sehingga ia tahu bahwa tuan rumahnya inilah yang kelak sempat menjadi orang nomor satu di negaranya, pasti epidemi yang muncul kelak adalah penyakit pusing kepala di seantero nusantara.
Tapi sudahlah. Mau bagaimana. Si yunior akhirnya menganggap bahwa seniornya ini memang sedang mempelonconya, si yunior mengerahkan segala daya upaya psikologis untuk mengikhlaskan dirinya meminum kopi celana dalam ini. Bahkan iapun ikhlas tatkala Gus Dur masuk kamar mandi mengambil sikat gigi, kemudian mengaduk kopinya dengan sikat gigi.
Saya harus ambil ‘jalan tol’ apa pendapat Anda mengenai celana dalam dan sikat gigi presiden kita ini?
Kalau pakai husnudh-dhon atau positive-thinking. Kita bisa melontarkan argumentasi. Siapa bilang itu celana dalam? Itu adalah kain. Dan Gus Dur belum pernah memakainya. Kain itu bersih, baru dari toko dan sudah sempat dicuci satu kali. Secara kedokteran kain itu well-recommended untuk dijadikan lap cangkir. Juga sikat giginya belum pernah menyentuh gusinya Gus Dur. Ia bersih seratus persen. Pak dokter tak akan marah dan menyalahkan Gus Dur.
Tapi tidak etis, dong? “Bahwa ini adalah celana dalam”, demikian kira-kira kata Gus Dur kepada si yunior. “Itu adalah persepsi yang berasal dari konsepmu sendiri, sedangkan bagiku ini adalah kain yang bersih”.
Ah, betapa luasnya masalah ini. Betapa panjang kalau kita mendiskusikannya. Pandanglah dari sudut filosofi satuan-satuan ilmu, manajemen, empirisme sosial, atau apapun saja. Kita men-thowaf-i celana dalam, tapi saya akan mengambil dari satu sudut kecil saja. PKB atau celana dalam atau kain? PDIP, Golkar, PPP, PAN dan lain-lain itu celana dalam atau kain.
Mungkin Golkar itu jas, PDIP celana panjang, PPP satu PAN kaos, PKB celana dalam, atau terserah bagaimana anda mengindetifikasinya. Tapi yang jelas celana dalam, kaos, jas, dan lain-lain itu sama-sama kain, PKB, PDIP, Golkar dan lain-lain itu sama-sama Indonesia. Dan tidak pernah ada cerita tentang celana dalam bertengkar lawan kaos, jas lawan dasi, atau celana panjang lawan kemeja. Mereka semua bekerja sama untuk menutupi aurat pemakainya, bekerjasama untuk membangun kehormatan bagi pemakainya.
Sesudah menjadi presiden, Gus Dur sendiri tak boleh berpikir dan bertindak dengan orientasi celana dalam. Ia harus berpikir kain dan mengambil keputusan berangkat dari kain dan kain untuk pemakai kain itu. Gampangnya Gus Dur bukan orang PKB, bukan NU, melainkan Indonesia.
Oleh Emha Ainum Nadjib
WoW.. menurut saya ini adalah artikel ringan tetapi berat untuk dipahami. dalam artian "Twisting our mind".
ReplyDeletesaya lebih tertarik lagi dengan satu paragraph diatas:
"Tapi tidak etis, dong? “Bahwa ini adalah celana dalam”, demikian kira-kira kata Gus Dur kepada si yunior. “Itu adalah persepsi yang berasal dari konsepmu sendiri, sedangkan bagiku ini adalah kain yang bersih”."
Saya kira, dari persoalan urusan celana dalam ini sebenarnya sudah menggambarkan ke-Indonesia-an di dalamnya. Tentu sudah pernah kita dengar sebuah pepatah, "Tak ada rotan, akar pun jadi"
betul sekali, saya setuju dengan koment anda :)
ReplyDelete