Rahasia "517" ►► Selamat Datang Di Blog Kami "517" Blognya Para Pecinta Tasawuf, Sejarah Serta Penebar Cinta Kasih

Sunday, April 14, 2013

Menguak Hakikat di Balik Muhammad dan Sholawat

Akibat pernyataan Sufi tua bahwa Sholawat sudah menjadi sunnatullah, Ustadz Dul Wahab, ustadz Jembudin at-Takriri, Ustadz Zakari as-Salaf  diiringi delapan orang muridnya dengan bersungut-sungut mendatangi pesantren sufi dan meminta penjelasan tentang pernyataan yang dianggap berlebihan yang potensial akan mempertuhan Muhammad bin Abdullah. Sufi tua yang sedang berbincang dengan Guru Sufi, Sufi Kenthir, Sufi Sudrun, Sufi Senewen, Dullah, Sukiran, dan Roben memasang wajah sangar memandang para ustadz yang akan memprotes pernyataannya.
    “Aku cuma mau meladeni orang yang mau menerima Kebenaran faktual, riil dan empirik,” kata Sufi tua ketus,”Orang yang pikirannya dibutakan oleh tafsir teks dan menolak semua fakta riil dan kenyataan empirik, silahkan keluar. Maksudku, orang seperti itu tidak perlu penjelasan tapi langsung duel sebagai laki-laki karena orang seperti itu tidak bisa diajak tukar pikiran.”

    Ustadz Dul Wahab, Ustadz Jembudin al-Takriri dan Ustadz Zakari as-Salaf diam melihat mantan perwira intelijen itu menampakkan kegarangan. Ustadz Dul Wahab mewakili yang lain buru-buru membuat pernyataan bahwa tujuannya ke pesantren sufi hanya untuk mencari kejelasan tentang pernyataan sepihak yang menyatakan bahwa sholawat adalah sunnatullah. “Kami hanya ingin tahu, apa dasar sampeyan membuat pernyataan seperti itu. Apa dalilnya bahwa sholawat adalah sunnatullah?”
    “Karena yang sampeyan tanya adalah sunnatullah, maka ijinkan aku bertanya dulu kepada sampeyan semua akal sehat kita dalam memaknai fakta, realita, kenyataan empirik. Artinya, kalau di antara kita ada yang menolak fakta, realita, kenyataan empirik yang sudah diakui umat manusia sejagat raya, maka silahkan keluar dan jangan bertanya sepatah kata pun kepada aku. Setuju?” kata Sufi tua dengan suara ditekan tinggi.
    “Sepakat,” sahut ustadz Dul Wahab.
    “Aku tanya, menurut sampeyan semua, BUMI  ini bentuknya bulat atau datar seperti karpet digelar?” tanya Sufi tua.
    Ustadz Zakari as-Salaf seketika menyahut,”Bumi datar seperti karpet digelar. Dalilnya jelas! Dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 22 disebutkan bahwa Allah bersabda ‘Dia yang menjadikan bagi kalian bumi terhampar (firasy) dan langit sebagai atap (binaa’a)’. Surah al-Hijr ayat 19 juga menyatakan bahwa ‘dan bumi Kami bentangkan (madadnaaha) dan Kami tegakkan gunung-gunung’.”
    Sufi tua ketawa tergelak. Sebentar kemudian ia bertanya,”Jadi menurut sampeyan bumi itu datar seperti karpet, dan langit itu pun seperti atap dan gunung-gunung tegak seperti tiang?”
    “Ya tafsirnya yang benar memang itu.”
    “Sampeyan sudah tanya langsung kepada Allah bahwa tafsir yang sampeyan ikuti itu yang paling benar di antara tafsir-tafsir lain?” tukas Sufi tua terkekeh-kekeh.
    “Tentu tidak, bagaimana caranya bertanya langsung kepada Allah?”
    “Artinya, sampeyan hanya mengklaim bahwa tafsir yang sampeyan ikuti itulah yang paling benar sedang tafsir orang lain salah. Karena dalam kenyataan manusia sejagat raya sudah yakin jika bumi adalah bulat, langit tidak seperti atap rumah sebagaimana yang sampeyan bayangkan, gunung pun tidak bulat panjang seperti tiang sebagaimana sampeyan bayangkan, maka silahkan sampeyan keluar dari tempat ini. Karena jelas, penjelasanku  tidak akan pernah bisa diterima oleh orang-orang seperti sampeyan. Dan kalau sampeyan tetap ngotot minta penjelasan kepada aku, maka lebih baik  kita carok saja di luar untuk menentukan siapa benar dan siapa salah.”
    Melihat suasana panas, Guru Sufi menengahi dengan memberi isyarat agar Sufi tua tidak lagi bersikap keras. Sufi tua menurut, tapi ia meminta kepada ustadz Dul Wahab untuk mematuhi kesepakatan yang telah disepakati.
    “Baiklah,” kata ustadz Dula Wahab,”Ustadz Zakari as-Salaf biar saja di sini dan tidak diusir keluar. Tapi dia tidak punya hak untuk berbicara apalagi bertanya sepatah kata pun kepada sampeyan.”
    “Setuju,” sahut Sufi tua,”Sekarang aku akan menjawab pertanyaan sampeyan. Ustadz. Tapi pertama-tama, aku mau tanya kepada sampeyan, ustadz. Apakah menurut sampeyan sholat tanpa sholawat itu hukumnya sah?”
    “Ya tidak sah.”
    “Sampeyan pernah menemukan hadits, cerita, kisah, data sejarah yang menyatakan bahwa satu masa umat Islam pernah menghentikan amaliah sholat lima waktu dalam tempo setahun, sebulan, seminggu, atau bahkan satu hari saja?” sergah Sufi.
    “Ya pasti tidak pernah, karena dalam suasana perang pun orang tetap sholat.”
    “Itu berarti, sholawat juga tidak pernah berhenti diucapkan orang barang satu hari pun sejak zaman Rasulullah Saw hidup sampai sekarang ini. Orang menjalankan sholat dengan kewajiban bersholawat di dalamnya itu sudah berlangsung 15 tanpa istirahat atau berhenti satu hari pun.  Apakah sampeyan mau ingkar terhadap fakta ini?”
    Ustadz Dul Wahab, Ustadz Jembudin al-Takriri dan Ustad Zakari as-Salaf diam.
    “Sampeyan bisa mencari seorang manusia yang namanya disebut dengan hormat dan penuh kecintaan selama 15 abad tanpa henti selain Nabi Muhammad Saw?” tanya Sufi tua.
    “Tapi simpulan  itu berbahaya, bisa merusak Tauhid kita karena bisa potensial menuhankan Muhammad ibn Abdullah, yang faktanya, Muhammad itu hanya menusia biasa,” sahut ustadz Jembudin at-Takriri menyela.
    “Jangan bilang Tauhid kita, ustadz,” tukas Sufi tua sengit,”Karena tingkat pemahaman Tauhid  sampeyan dengan  aku  Tauhid  tidaklah sama.”
    Melihat suasana mulai hangat lagi, Guru Sufi menengahi. Dengan isyarat ia minta Sufi tua untuk diam. Sebaliknya dengan suara merendah ia berkata,”Mohon maaf, sebenarnya Tauhid kita sama tapi tidak serupa dalam tingkat pemahaman. Maksudnya, Tauhid itu dalam pemahaman  kami tidak sama dengan sampeyan dan juga dengan orang lain,  karena masing-masing manusia memiliki perbedaan kualitas satu sama lain. Maksudnya, Tauhid yang difahami Rasulullah Saw tentu tidak sama dengan Tauhid yang difahami para sahabat. Begitu pula Tauhid yang difahami para sahabat tidak ada yang sama satu sama lain di antara mereka, apalagi antara Tauhid yang difahami para sahabat dengan Tauhid yang dipahami orang-orang dari golongan badui.”
    “Maksud sampeyan apa menyatakan pemahaman Tauhid Rasulullah tidak sama dengan pemahaman Tauhid sahabat? Bagaimana ini, Mbah Kyai?” tanya Jembudin at-Takriri memprotes.
    “Contoh sederhana, dari perkara itu,” sahut Guru Sufi menjelaskan, “Sewaktu Rasulullah Saw hijrah dari Makkah ke Yatsrib didampingi sahabat Abu Bakar as-Shiddiq dan dikejar kafir Quraisy, di tengah jalan beliau berdua  masuk ke dalam gua Tsur  agar tidak tertangkap kafir Quraisy. Nah, sewaktu di dalam gua itulah, seorang pemuda Quraisy dengan pedang terhunus masuk ke dalam gua. Abu Bakar yang sudah dididik Tauhid langsung oleh Rasulullah Saw selama 13 tahun, ternyata gemetar dan mencucurkan airmata saat melihat pemuda Quraisy itu mendekat, karena beliau khawatir pada keselamatan Rasulullah Saw. Saat itulah, dengan tenang Rasulullah Saw menenangkan sahabat Abu Bakar dengan bersabda,”Innalahha ma’ana” bahwa sejatinya Allah bersama kita. Bukankah itu bukti bahwa kualitas pemahaman  Tauhid sahabat Abu Bakar tidak bisa dibandingkan dan dipersamakan dengan Rasulullah Saw? ” kata Guru Sufi.
    “Ya jelas tidak sama, karena Muhammad itu Nabi yang dipilih Allah.”
    “Nah, justru dengan dipilih oleh Allah itulah, kami meyakini bahwa Muhammad ibn Abdullah Saw itu bukan manusia biasa sebagaimana kita, sehingga kami semua senantiasa menyebut nama beliau dengan sebutan kecintaan dan kehormatan serta kemuliaan: Sayyidina, Maulana, Habibina, Qurrota ’ayyunina, Gusti, Kangjeng,” kata Guru Sufi.
    “Tapi berlebihan. Itu pengkultusan. Itu musyrik,” tukas ustadz Jembudin at-Takriri.
    Guru Sufi ketawa. Setelah itu dengan suara perlahan berkata,”Bolehkah saya bertanya kepada sampeyan tentang keberadaan Al-Qur’an?”
    “Tanya keberadaan al-Qur’an yang bagaimana, Mbah?” gumam ustadz Jembudin at-Takriri agak keder karena ia sadar tidak cukup memiliki pemahaman mendalam tentang al-Qur’an.
    “Jangan kuatir saya tanya yang macam-macam tentang al-Qur’an,” kata Guru Sufi dengan suara datar,”Saya cuma ingin tahu apakah menurut pandangan sampeyan al-Qur’an itu kitab yang memuat SABDA, WAHYU, KALAM, KATA-KATA ALLAH?”
    “Ya pasti itu, al-Qur’an adalah Sabda Allah,” sahut ustadz Jembudin at-Takriri.
    “Menurut pengetahuan sampeyan, apakah al-Qur’an yang memuat Sabda Allah itu diturunkan ke dunia ini dengan cara Allah menjatuhkan kitab itu dari langit kepada Nabi Muhammad Saw?”
    “Tentu saja tidak, Mbah.”
    “Dengan cara apa al-Qur’an diturunkan ke dunia?” tanya Guru Sufi mengejar.
    “Dengan wahyu,” sahut ustadz Jembudin at-Takriri,”Wahyu lewat malaikat Jibril yang disampaikan kepada Nabi Muhammad.”
    “Apakah wahyu yang disampaikan Jibril kepada Nabi Muhammad Saw itu berupa lembaran-lembaran kertas, papirus, lempengan tembaga?” tanya Guru Sufi memburu. 
    Ustadz Jembudin at-Takirir bingung. Ia menoleh kepada ustadz Dul Wahab seperti meminta bantuan pendapat. Karena ustadz Dul Wahab diam, ustadz Jembudin at-Takriri pun menjawab sekenanya, “Ya menurut pengetahuan saya, wahyu itu dilewatkan LISAN Muhammad. Ayat demi ayat dari surah-surah dari wahyu yang turun selama 23 tahun itu dicatat. Itulah al-Qur’an, menurut pemahaman saya.”
    “Berarti sampeyan percaya al-Qur’an itu dalam kacamata empirik keluar dari LISAN Nabi Muhammad Saw dan sekali-kali itu bukan kata-kata, kalam, sabda, ucapan pribadi manusia bernama Muhammad ibn Abdullah?”tanya Guru Sufi mendesak.
    “Ya itu keyakinan kami.”
    “Kalau Muhammad ibn Abdullah itu manusia biasa, kenapa beliau bisa menjadi subyek representatif yang mewakili Allah bersabda kepada manusia? Bukankah kalau yang ditetapkan sebagai subyek yang representatif  mewakili Allah bersabda itu kedudukannya hanya manusia biasa, tentu bebas saja bagi orang-orang biasa di antara manusia yang bisa menjadi subyek penyampai Sabda Allah? Kenapa sampeyan tidak meyakini bahwa kakek moyang sampeyan yang dipilih mewakili Allah bersabda kepada manusia?” tanya Guru Sufi.
    Ustadz Jembudin at-Takriri diam. Suasana tegang. Untuk mengatasi suasana, ustadz Dul Wahab bertanya,”Bolehkah saya tahu Mbah, kenapa Nabi Muhammad itu bisa memperoleh kemuliaan seperti itu? Siapa sejatinya Nabi Muhammad sampai memperoleh kedudukan setinggi itu di antara manusia?”
    Guru Sufi menyitir sebuah hadits qudsyi,”Laulaka laulaka maa kholaqtu al-aflah – andaikata engkau tidak Aku cipta, maka tidak tercipta cakrawala.”
     “O iya mbah, hadits qudsyi itu bagaimana maksudnya?”
    “Dalam hadits qudsyi juga disebutkan, bahwa pada awalnya alam semesta ini berupa hamparan Zat Ilahi yang meliputi segala, tidak ada zat lain kecuali Zat-Nya saja. Oleh karena Dia itu Zat terahasia Yang ingin diketahui (Kuntu Kanzan Mahfiyan, Ahbabtu an u’rifa), maka diciptakanlah ciptaan (fa kholaqtu kholqo). Ciptaan pertama itulah yang disebut CAHAYA YANG TERPUJI (Nuur Muhammad). Nah Nuur Muhammad itulah sumber dari segala sumber penciptaan alam semesta. Dengan\Nuur Muhammad itulah alam semesta yang semula awang-uwung menjadi ada sumber bahan alam yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Begitulah makna hadits ‘laulaka laulaka maa kholaqtu al-aflah’, yang menunjuk penciptaan Cahaya Muhammad sebagai Sumber penciptaan alam semesta,” kata Guru Sufi menjelaskan.
    “Ee apakah bisa dimaknakan juga bahwa Allah bersholawat kepada Nabi Muhammad itu sejatinya bersholawat kepada Nuur Muhammad, yaitu Cahaya-Nya Sendiri Yang Terpuji?”
    “Tidak bisa dipilah-pilah begitu,” sahut Guru Sufi,”Karena sholawat Allah dan para malaikat itu bukan hanya kepada Nuur Muhammad sebagai Cahaya Allah Yang Terpuji, tetapi eksplisit diberikan kepada Nabi Muhammad sebagaimana sabda-Nya : Innalloha wa malaaikatahu yusholuuna ala Nabi. Makan sholawat itu disampaikan dari tingkat haqqi qat Yang Terpuji (al-Haqqiqat al-Muhammadiyyah) sampai kepada pemunculan-Nya (tanazul) sebagai Nabi Muhammad Saw.”
    Ustadz Dul Wahab diam. Ustadz Jembudin at-Takriri geleng-geleng kepala sambil menggumam, ”Wah tambah bingung saya, Mbah. Pulang aja saya, daripada tidak faham dan malah sesat dengan uraian sampeyan yang membingungkan itu,” katanya berpamitan.

11 comments:

  1. Jadi tidak ada penyelesaiannya? hanya sampai disitu saja ceritanya?

    ReplyDelete
  2. Disitulah letak perbedaan antara yg mengetahui dan yg diberi tahu..sebagaimana bedannya antara yg hidup dan yg dihidupkan..
    Dari semua kejadian baik yg diberitahu maupun yg dihidupkan..smw bersumber pada satu titik..yg disebut sumber dr segala sumber kejadian..yaitu nur muhammad..itulah knp kita di harus kan memberikan sholat kpd rasulullah...
    Induk dr sekalian jasad adalah adam.
    Dan induk dr sekalian ruh adalah nur muhammad...(kalbumu)
    Karna diriku hanya diri yg merasa.
    Allahhumma shalli 'ala muhammad wa 'ala ali muhammad...

    ReplyDelete
  3. Saya setuju untuk menuju ke Illahi harus melalui Nur Muhammad dan menuju Nur Muhammad harus melalui Muhammad bin Abdullah sebagai si pembawa Nur Muhammad. Seperti Matahari dengan Cahayanya. Dimana ada Cahaya Matahari disitu ada Matahari. Jika tidak ada cahaya matahari maka tidak ada Matahari. Yang menjadi masalah adalah dimana sekarang Nur Muhammad tersebut berada karena Muhammad bin Abdullah sudah tiada yang menjadi si pembawa Nur Muhammad tersebut.

    ReplyDelete
    Replies
    1. This comment has been removed by the author.

      Delete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  5. Apakah hanya dngan shalawat yang dihapalkan dan dibacakan seperti yang diajarkan saat ini oleh banyak ulama2, ustad2 dll sdh sampai kepada yang dituju (Nur Muhammad dan Nur Illahi)?

    ReplyDelete

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More